Canang: Jejak Sejarah, Makna, dan Pesona Bentuknya di Bali

ilustrasi canang/ kabarportal
DENPASAR, KABARPORTAL.COM - Saat melangkah di Pulau Dewata, Bali, kamu pasti pernah melihat wadah kecil berisi persembahan yang tersaji apik di pinggir jalan, depan rumah, atau bahkan di sudut pura.
Itulah canang, sebuah simbol budaya yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Hindu Bali. Lebih dari sekadar hiasan, canang adalah wujud syukur dan doa yang dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa.
Jejak Sejarah Canang: Dari Sirih hingga Persembahan Suci
Canang bukanlah sekadar benda biasa. Nama ini berasal dari bahasa Jawa Kuno, gabungan kata “can” yang berarti indah dan “nang” yang merujuk pada tujuan. Awalnya, canang identik dengan sirih, sebuah sajian kehormatan bagi tamu istimewa dalam tradisi Bali kuno.
Makan sirih bukan sekadar kebiasaan, melainkan simbol penghormatan yang tinggi di kalangan masyarakat Bali. Sirih, dengan nilai budayanya yang dalam, menjadi cikal bakal canang modern yang kini kita kenal.
Tradisi ini berkembang di tangan Mpu Sangkulputih, seorang sulinggih yang menggantikan Danghyang Rsi Markandeya di Pura Besakih. Ia memperkaya ritual bebali dengan menambahkan elemen estetika dan fungsi pada canang.
Daun sirih, janur, pisang, hingga beras menjadi bagian dari persembahan ini, menciptakan harmoni antara keindahan dan makna spiritual. Sejak saat itu, canang tak hanya jadi pelengkap, tetapi inti dari upacara Yadnya. Tanpa canang, sebuah ritual dianggap tak lengkap, meski sesaji lain telah megah disiapkan.
Fungsi Canang: Jembatan Doa dan Syukur
Bagi umat Hindu Bali, canang adalah sarana sakral untuk berkomunikasi dengan Ida Sang Hyang Widhi. Setiap hari, mulai pukul 06.00 WITA hingga menjelang malam, canang dipersembahkan di tempat-tempat suci seperti pura, sanggah, atau bahkan sudut rumah dan pekarangan.
Canang tak hanya muncul dalam keseharian, tetapi juga saat hari-hari besar seperti Purnama, Tilem, Galungan, Kuningan, hingga Pagerwesi. Dalam perayaan besar ini, canang kerap menjadi puncak sesaji seperti banten gebogan atau banten soda, menegaskan perannya sebagai elemen utama.
Fungsi canang tak berhenti pada estetika. Ia adalah wujud syukur atas kedamaian dunia dan permohonan akan pengetahuan serta keharmonisan antara Bhuana Alit (mikrokosmos) dan Bhuana Agung (makrokosmos). Diletakkan di titik-titik strategis, canang membawa energi spiritual yang diyakini mempererat hubungan manusia dengan alam dan sang pencipta.
ikuti kami di Google News