swipe up
[modern_search_box]

Canang Raka, Canang Sari: Makna, Jenis, dan Kisah di Balik Persembahan Hindu Bali

 Canang Raka, Canang Sari: Makna, Jenis, dan Kisah di Balik Persembahan Hindu Bali

ilustrasi canang/ kabarportal

DENPASAR, KABARPORTAL.COm – Jika pernah berjalan-jalan di Pulau Dewata, Bali, Anda pasti tak asing dengan pemandangan sesajen kecil yang tersebar di sudut-sudut jalan, pura, hingga halaman rumah. Bagi yang tak terbiasa, mungkin sesekali kaki tak sengaja menginjak atau harus sedikit repot menghindarinya.

Namun, di balik keberadaannya yang sederhana, sesajen ini menyimpan makna mendalam bagi masyarakat Hindu Bali. Namanya Canang atau Canang Sari, sebuah persembahan yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan spiritual di pulau ini.

Canang Sari bukan sekadar rangkaian bunga dan daun yang ditata apik. Ia adalah simbol syukur, doa, dan penghormatan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa dalam ajaran Hindu. Dalam bahasa Kawi, “ca” berarti indah dan “nang” berarti tujuan.

Maka, Canang bisa diartikan sebagai sarana indah untuk menyampaikan harapan dan doa kepada Sang Pencipta. Persembahan ini hadir setiap hari di berbagai tempat, mulai dari pura besar, tempat sembahyang kecil di rumah, hingga trotoar sebagai bagian dari ritual yang lebih luas.

Tingkatan Upakara dan Filosofi Canang

promo pembuatan website bulan ini

Dalam tradisi Hindu Bali, upakara atau sarana persembahan dibagi menjadi tiga tingkatan: Nista (sederhana), Madya (menengah), dan Utama (paling lengkap). Pembagian ini memungkinkan umat menyesuaikan yadnya—kurban suci—dengan kemampuan masing-masing, sehingga tak memberatkan. Canang termasuk dalam tingkatan Nista, menjadi bentuk persembahan paling dasar namun sarat makna.



Setiap elemen dalam Canang Sari memiliki simbolisme tersendiri. Alasnya, yang disebut ceper atau tamas, berbentuk segi empat dan melambangkan tubuh manusia (angga-sarira). Keempat sisin ceper mencerminkan elemen pembentuk tubuh, seperti Panca Maha Bhuta (lima elemen alam) dan Panca Karmendriya (lima indra perbuatan). Sementara itu, beras atau wija melambangkan Atma, jiwa yang menghidupkan raga, sebagai benih kehidupan dari Sang Hyang Widhi.

Ada pula porosan, terbuat dari daun sirih, kapur, dan gambir, yang melambangkan Tri-Premana: pikiran (Bayu), perkataan (Sabda), dan perbuatan (Idep). Ketiganya juga diasosiasikan dengan Trimurti—Brahma, Wisnu, dan Siwa—sebagai simbol cinta, welas asih, dan syukur.

Lalu, bunga-bunga yang disusun rapi tak hanya mempercantik Canang, tetapi juga membawa makna kedamaian dan ketulusan. Bunga putih di timur melambangkan Sang Hyang Iswara, merah di selatan untuk Sang Hyang Brahma, kuning di barat untuk Sang Hyang Mahadewa, dan biru atau hijau di utara untuk Sang Hyang Wisnu.

Tak ketinggalan, elemen seperti sampian uras dari janur melambangkan roda kehidupan, sementara kembang rampai di tengah menjadi simbol kebijaksanaan dan kekuatan Panca Dewata. Bahkan, aroma minyak wangi dan lepa (boreh miyik) turut melengkapi, masing-masing mewakili ketenangan jiwa dan perilaku mulia.



Ragam Jenis Canang dan Tujuannya

Canang tak hanya hadir dalam satu bentuk. Ada berbagai jenis yang disesuaikan dengan kebutuhan ritual, seperti Canang Sari, Canang Genten, Canang Raka, hingga Canang Saraswati. Masing-masing memiliki ciri khas dan tujuan spesifik.

Salah satu yang menarik adalah Canang Raka. Mirip dengan Canang Sari, namun dilengkapi lima jenis buah yang melambangkan permohonan peleburan Panca Mala (lima dosa) dan anugerah Panca Amertha.

Pisang kayu melambangkan Amertha Sanjiwani, salak untuk Amertha Kamandalu, buah kuning untuk Amertha Kundalini, manggis untuk Amertha Pawitra, dan jeruk untuk Amertha Maha Mertha. Canang ini kerap digunakan dalam upacara Panca Yadnya, terutama saat mendem pedagingan dan nyejer.

Lain lagi dengan Canang Genten, yang ditambah jajan kiping, pisang mas, serta bubur merah-putih, sebagai doa untuk keremajaan. Biasanya, Canang ini dipakai dalam ritual matatah atau upacara menuju kedewasaan. Sementara Canang Saraswati, dengan elemen seperti tebu dan sampian plaus, menjadi persembahan khusus di Hari Suci Saraswati untuk memohon kecerdasan dan kebijaksanaan.

Ada pula Canang Pangrawos, yang dilengkapi takir berisi lima lekesan, melambangkan permohonan kebulatan pendapat dan kedamaian. Canang ini sering terlihat saat rapat atau musyawarah. Sedangkan Canang Tadah Sukla menonjolkan simbol iman dan kesucian, cocok untuk upacara pembersihan.

Lebih dari Sekadar Persembahan

Canang Sari, meski sederhana, disebut Kanista atau inti dari segala upakara. Tanpa Canang, sebuah ritual besar dianggap tak lengkap. Penyempurna Canang biasanya berupa uang logam (kepeng) atau kertas, yang menjadi esensi persembahan. Setiap hari, umat Hindu Bali menyiapkan Canang sebagai wujud syukur atas kedamaian dunia, sekaligus pengorbanan diri melalui waktu dan tenaga yang dicurahkan.

Namun, ada saat di mana Canang tak digunakan, yakni saat duka cita melanda. Ketika ada kematian dalam keluarga atau komunitas, persembahan ini ditiadakan sebagai tanda penghormatan.

Pesona Spiritual Bali dalam Canang

Canang Sari dan ragamnya bukan sekadar tradisi, melainkan cerminan keseimbangan hidup masyarakat Hindu Bali. Dari susunan bunga hingga makna filosofisnya, Canang mengajarkan bahwa keindahan, ketulusan, dan syukur bisa diwujudkan dalam hal-hal sederhana.

Bagi wisatawan, keberadaan Canang mungkin jadi pemandangan unik yang memperkaya pengalaman di Bali. Namun, bagi umat Hindu, ia adalah jembatan spiritual yang menghubungkan manusia dengan Sang Pencipta.

Dengan segala simbolisme dan kepekaannya terhadap konteks kehidupan, Canang Sari tak hanya memperkaya tradisi Bali, tetapi juga menjadi daya tarik budaya yang memesona. Ia adalah bukti bahwa dalam kesederhanaan, tersimpan kekayaan makna yang abadi.

***

Penulis: Putu Astawa

Editor: Tim Kabarpotal

Baca Juga: