Dikeramatkan Oleh Masyarakat Hindu, Ketahui Hal Menarik dari Purnama Kenem
DENPASAR, KABARPORTAL.COM – Purnama Sasih Kanem, bulan keenam dalam kalender tradisional Bali, memiliki makna yang mendalam bagi masyarakat Hindu di Pulau Dewata. Bulan ini sering dianggap penuh tantangan, baik dari sisi alam maupun sosial. Tradisi wariga Bali memandang Sasih Kanem sebagai masa Dewi Durga beryoga. Di bawah naungan Batara Guru atau Dewa Siwa, yang menguasai arah Barat daya. Keyakinan ini menjadikan Sasih Kanem bulan yang penuh peringatan dan refleksi.
Daftar Isi
Sasih Kanem dan Gejolak Alam
Secara faktual, Sasih Kanem bertepatan dengan musim pancaroba, saat peralihan dari kemarau ke musim hujan. Curah hujan mulai meningkat, bahkan lebih deras dibandingkan bulan sebelumnya, Sasih Kalima.
Udara yang lembap, suhu yang gerah, dan intensitas hujan yang tinggi memicu berbagai gangguan kesehatan, seperti flu, demam, dan batuk. Tidak hanya manusia, hewan, dan tumbuhan pun turut terdampak.
Hama menyerang tanaman, sementara lalat, yang dikenal sebagai penyebar penyakit, berkembang biak lebih cepat pada kondisi ini. Dalam tradisi Bali, ancaman ini sering diatasi dengan upacara Nangluk Merana, yaitu ritual untuk mengusir hama dan melindungi hasil bumi. Upacara ini menjadi salah satu wujud kearifan lokal dalam menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.
Pertanda dan Etika Sosial
Bagi masyarakat Bali, Sasih Kanem juga memiliki makna simbolis. Bila terjadi gempa bumi pada bulan ini, tradisi meramalkan adanya gejolak sosial, termasuk meningkatnya kerawanan, konflik, dan tindakan kriminal. Oleh karena itu, masyarakat diingatkan untuk menjaga etika dalam berbicara dan bertindak, demi menghindari perselisihan yang tidak perlu.
Aktivitas Pertanian dan Larangan Upacara Besar
Meski penuh tantangan, Sasih Kanem juga dianggap sebagai waktu yang baik untuk memulai kegiatan bertani. Hujan pertama pada bulan ini menyuburkan tanah, menjadikannya momen ideal bagi para petani untuk mencangkul dan memulai musim tanam.
Namun, Sasih Kanem kurang disarankan untuk melaksanakan upacara besar seperti pawiwahan (pernikahan), ngaben, atau ngenteg linggih. Tradisi menyarankan untuk menunda kegiatan tersebut hingga Sasih Kapitu atau Sasih Kadasa, yang dianggap lebih baik. Sebaliknya, bulan ini lebih tepat digunakan untuk upacara Bhuta Yadnya seperti Macaru, sebuah ritual untuk menyelaraskan energi negatif di lingkungan.
Harmoni dengan Alam dan Tradisi
Di balik segala tantangan, Sasih Kanem mencerminkan kedekatan masyarakat Bali dengan siklus alam. Upaya menjaga kebersihan lingkungan, sanitasi, serta penghormatan terhadap alam dan leluhur menjadi penyeimbang kehidupan.
Tradisi ini menunjukkan bagaimana masyarakat Bali mengintegrasikan ajaran spiritual dan kearifan lokal dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Sasih Kanem bukan hanya tentang ancaman, tetapi juga peluang untuk memperkuat hubungan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.
Dalam perspektif Bali, setiap bulan memiliki peran dan pesan tersendiri, dan Sasih Kanem mengajarkan kewaspadaan sekaligus penghormatan pada harmoni kehidupan. ***
sumber: menyali-buleleng.desa.id
2 Reviews
ikuti kami di Google News