Sawah Riuh Tawa: Festival ke Uma V Tabanan Hidupkan Kembali Permainan Tradisional

Sawah Riuh Tawa Festival ke Uma V Tabanan Hidupkan Kembali Permainan Tradisional/ kabarportal
TABANAN, KABARPORTAL.COM - Di tengah petak sawah kering Subak Sidangrapuh, Banjar Ole, Desa Marga Dauh Puri, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, sorak sorai dan tawa anak-anak menggema.
Bukan musim panen yang membuat suasana meriah, melainkan Festival ke Uma V, sebuah perhelatan dua hari yang digagas Sanggar Buratwangi dan Wintang Rare.
Festival ini, yang dibuka pada Jumat lalu, menjadi panggung istimewa untuk menghidupkan kembali permainan tradisional Bali yang nyaris terlupakan, sekaligus merayakan budaya pertanian di tengah subak.
Matimbang: Adu Fokus dengan Timbangan Bambu
Hari pertama festival dibuka dengan permainan langka bernama Matimbang. Dipandu I Nyoman Budarsana, Ketua Sanggar Buratwangi, puluhan anak dari SD Negeri 1 Marga Dauh Puri dan warga desa setempat diajak menguji ketangkasan mereka. Permen ini sederhana namun menantang: peserta harus menyeimbangkan timbangan bambu dengan dua terong di atas hidung, lalu berlari melewati tumpukan jerami tanpa menjatuhkannya.

Tawa pecah di pematang sawah saat anak-anak berlomba menjaga keseimbangan. Ketika timbangan terlepas dari hidung salah seorang peserta, sorakan teman-teman justru memicu semangat untuk bangkit dan mencoba lagi. “Permainan ini mengajarkan fokus dan kegembiraan,” ujar Budarsana, sambil tersenyum melihat antusiasme anak-anak.
Luh Putu Mutiara Roshita Adi, Kepala Sekolah SD Negeri 1 Marga Dauh Puri, menyebut kegiatan ini sebagai pembelajaran yang tak ternilai. “Anak-anak tidak hanya mengenal sawah dan ekosistemnya, tetapi juga belajar tentang budaya leluhur kita, seperti Matimbang,” katanya, ditemani I Made Wetro, salah satu guru di sekolah tersebut.
Paid Upih: Keceriaan di Tengah Lumpur
Kegembiraan berlanjut dengan permainan Paid Upih, di mana anak-anak berpasangan menarik pelepah pinang di sawah berlumpur. Satu anak duduk di atas pelepah, sementara yang lain menariknya melintasi sawah. Permainan ini tak hanya menguji kekompakan, tetapi juga keberanian dan kemampuan untuk tetap tersenyum meski terjatuh ke lumpur.
Jatuh di lumpur justru menjadi momen paling meriah. Sorakan teman-teman menyambut setiap anak yang terpeleset, lalu bangkit dengan wajah penuh lumpur dan tawa. “Ini pengalaman yang sulit ditemukan di era modern,” ungkap Wetro, yang juga menambahkan lomba Megandong (menggendong) untuk menambah keseruan. Ia berharap festival ini kembali digelar tahun depan, dengan rencana memperkenalkan Matekap, tradisi membajak sawah secara manual.
ikuti kami di Google News



