Identik dengan Penjor Ukuran Besar dan Megar, Ini Sejarah Ngerebong

Ilustradisi Ngurek dalam tradisi Hindu Bali/ foto by Maula039 – Wikimedia/ kabarportal
DENPASAR, KABARPORTAL.COM – Di tengah modernitas yang terus berkembang, masyarakat Bali tetap memegang teguh akar budayanya. Salah satu tradisi sakral yang masih dijalankan dengan khidmat adalah Ngerebong, sebuah upacara adat yang digelar di Desa Adat Kesiman, Denpasar. Tradisi ini bukan sekadar warisan budaya, tetapi juga bagian dari identitas spiritual warga Bali yang masih hidup dan berkembang hingga kini.
Kata Ngerebong dalam bahasa Bali berarti “berkumpul”. Dalam konteks tradisi, kata ini merujuk pada pertemuan sakral para Dewa di alam niskala yang dipercayai turun ke bumi untuk menyeimbangkan semesta. Ritual ini dilaksanakan setiap enam bulan sekali berdasarkan kalender Bali, tepatnya setiap Redite Pon Wuku Medangsia atau delapan hari setelah Hari Raya Kuningan.
Pusat Ritual di Pura Agung Petilan Kesiman
Pura Agung Petilan menjadi pusat dari prosesi Ngerebong. Sejak pagi, kawasan pura telah dipenuhi oleh warga yang datang membawa sesajen, didampingi alunan gamelan, deretan penjor, serta hiasan bunga-bungaan yang indah dalam tempayan. Sebelum ritual dimulai, para pecalang atau petugas adat menutup akses jalan untuk menjaga kesakralan upacara.
Rangkaian acara diawali dengan persembahyangan di pura. Kemudian dilanjutkan dengan tabuh rah atau adu ayam di wantilan, sebuah bangunan berbentuk bale terbuka yang menjadi pusat kegiatan sosial dan upacara. Barong—simbol kebaikan dalam kepercayaan Hindu Bali—kemudian diarak menuju Pura Pengerebongan, diikuti dengan prosesi mengelilingi wantilan sebanyak tiga kali.
Makna dan Filosofi di Balik Tradisi
Menurut budayawan dan tokoh Desa Kesiman, I Gede Anom Ranuara, tradisi Ngerebong merupakan bagian dari “pangilen” atau bentuk pemujaan yang telah digelar sejak 1937. Namun sejarah mencatat bahwa ritual ini telah berlangsung jauh sebelumnya dalam lingkup kerajaan Puri Kesiman. Tiga rangkaian penting yang menyertai Ngerebong adalah Ngerebek (Umanis Galungan), Pamendakan Agung (Paing Kuningan), dan puncaknya adalah Ngerebong sendiri.
Keterlibatan Mangku Pepatih dari berbagai wilayah eks-Kerajaan Kesiman menandakan cakupan tradisi ini yang luas, bahkan hingga ke Sanur dan Pemogan. Dalam prosesi ini, hadir pula para Sesuhunan—manifestasi spiritual yang diyakini sebagai keturunan Puri Kesiman—yang turut mengikuti ritual suci.
Salah satu pemandangan yang paling mencolok dalam upacara ini adalah momen trance atau kerauhan, ketika para pemedek (umat) mengalami kesurupan dan melakukan ngurek, yaitu menusukkan keris tajam ke tubuh mereka, termasuk ke area mata, tanpa terluka sedikit pun.
Upacara Bhuta Yadnya dan Harmonisasi Alam
Menurut kajian sejarah Pura oleh Institut Hindu Dharma (kini UNHI) Denpasar pada 1979, Ngerebong tergolong dalam upacara bhuta yadnya atau pacaruan, yakni bentuk persembahan untuk menyeimbangkan hubungan antara manusia, alam, dan Hyang Widhi (Tuhan).
Ritual dimulai sejak pagi dengan tabuh rah untuk membangkitkan guna rajah—sifat dasar manusia—agar diseimbangkan dan diarahkan menjadi guna sattwam, yakni sifat kebajikan yang positif. Hal ini bertujuan agar umat memiliki semangat dalam menghadapi tantangan hidup.
Sebelum menuju Pura Petilan, pelawatan berupa Barong dan Rangda dibersihkan secara spiritual di Pura Musen, yang terletak di tepi barat Sungai Ayung. Setelah panyucian, barulah prosesi utama dimulai.
Upacara dilanjutkan dengan Nyanjan dan Nuwur, sebagai permohonan agar kekuatan suci para Bhatara dan Bhatari turun menyatu dengan para pemedek. Setelah itu, para pengusung Barong, Rangda, dan para pepatih yang mengalami kerauhan akan keluar dari Kori Agung untuk melakukan putaran prasawia tiga kali mengelilingi wantilan.
Prasawia dan Pradaksina: Simbol Dualitas Hidup
Dalam filosofi Hindu Bali, gerakan prasawia (dari timur ke utara, lalu ke barat, selatan, dan kembali ke timur) melambangkan pengendalian sifat asuri sampad atau kecenderungan keraksasaan dalam diri manusia. Saat para pepatih ngurek dengan keris tajam, mereka berada dalam kondisi spiritual yang tinggi dan tidak mengalami cedera.
Setelah prasawia, prosesi dilanjutkan dengan Maider Bhuwana, yakni mengelilingi wantilan dengan arah pradaksina (searah jarum jam) sebanyak tiga kali. Ini melambangkan perjalanan spiritual manusia dari Bhur Loka (alam fisik) menuju Bhuwah Loka, dan akhirnya ke Swah Loka (alam para dewa).
Makna mendalam dari prasawia dan pradaksina ini menjadi pengingat bahwa dalam kehidupan, manusia perlu menyeimbangkan antara dorongan duniawi dan spiritual. Ketika sifat keraksasaan berada di bawah kendali sifat kedewataan, maka manusia akan mampu menjalani hidup dengan penuh kebijaksanaan dan kebaikan.
Pelestarian Tradisi dan Daya Tarik Wisata Budaya
Ngerebong bukan hanya warisan budaya, tetapi juga menjadi daya tarik wisata budaya Bali yang unik. Banyak wisatawan domestik dan mancanegara datang untuk menyaksikan ritual ini, tertarik oleh nilai spiritual dan keindahan estetiknya.
Sebagai bagian dari kekayaan budaya Denpasar, tradisi Ngerebong terus dijaga agar tetap lestari, sekaligus menjadi pengingat bahwa kearifan lokal memiliki peran penting dalam menjaga harmoni antara manusia dan semesta.
***