swipe up
[modern_search_box]

Nguncal Balung: Tradisi Unik di Bali yang Menjadi Pantangan Sepanjang Galungan hingga Kuningan

 Nguncal Balung: Tradisi Unik di Bali yang Menjadi Pantangan Sepanjang Galungan hingga Kuningan

ilustrasi kalender Bali/ kabarportal

DENPASAR, KABARPORTAL.COM – Di tengah kemeriahan Hari Raya Galungan dan Kuningan, masyarakat Bali memiliki sebuah tradisi sakral yang mungkin belum banyak diketahui publik luas—Nguncal Balung. Tradisi ini bukan sekadar adat biasa, tetapi merupakan bagian dari kearifan lokal yang mengatur ritme hidup dan pelaksanaan upacara keagamaan selama masa tertentu.

Nguncal Balung dikenal sebagai masa pantangan, berlangsung selama 42 hari, dimulai dari Buda Pon Wuku Sungsang hingga Buda Kliwon Wuku Pahang. Selama periode ini, umat Hindu Bali dianjurkan untuk tidak melangsungkan upacara besar yang bersifat ngewangun atau direncanakan, seperti pernikahan (nganten), kremasi (ngaben), dan nyekah.

Makna Filosofis di Balik Nguncal Balung

Secara harfiah, “nguncal” berarti membuang, sementara “balung” berarti tulang. Dalam konteks spiritual, istilah ini diartikan sebagai masa “melepaskan tulang”—simbol dari melepaskan unsur duniawi atau kekuatan kasar dalam diri manusia dan alam semesta.

Menurut Drs. I Ketut Wiana dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat, tradisi ini dulunya erat kaitannya dengan pengurangan penyembelihan hewan untuk upacara besar. Lebih jauh, penulis buku-buku Hindu, I Gusti Ketut Widana, menafsirkan nguncal balung sebagai momentum pelepasan energi negatif, yakni Sang Kala Tiga, menuju energi spiritual yang lebih tinggi, Sanghyang Tri Wisesa.

Alasan Larangan Upacara Besar

promo pembuatan website bulan ini

Dalam penanggalan Bali, rentang waktu ini dianggap kurang baik secara dewasa ayu (hari baik). Disebut sebagai waktu yang tidak memiliki “balung” atau pengukuh spiritual, sehingga tidak mendukung pelaksanaan ritual besar yang membutuhkan kekuatan dan keharmonisan kosmik.



Upacara rutin seperti piodalan atau otonan tetap diperbolehkan karena sifatnya berulang dan sudah terjadwal secara alami. Namun, upacara bhuta yadnya seperti tawur dan ritual besar lainnya seperti melasti dan Panca Wali Krama dianjurkan untuk ditunda.

Hal ini juga berlaku untuk kegiatan duniawi lainnya, seperti membangun rumah atau mendirikan tempat pemujaan. Sebab dipercaya, selama nguncal balung para dewa tengah dalam keadaan somya (hening), sehingga tidak memberikan berkah penuh terhadap kegiatan yang bersifat membangun.

Tradisi yang Mulai Bergeser

Meski demikian, seiring perkembangan zaman, kepatuhan terhadap tradisi ini mulai mengalami pergeseran, terutama di wilayah perkotaan seperti Denpasar dan Badung. Banyak masyarakat kini melangsungkan upacara besar dalam masa nguncal balung tanpa mengalami kendala berarti.



“Upacaranya berjalan lancar saja, tidak ada gangguan apa-apa,” ujar Nyoman Kartika, warga Denpasar yang menyelenggarakan upacara pernikahan saat periode nguncal balung.

I Ketut Wiana menilai hal ini sebagai bentuk adaptasi budaya. Menurutnya, ajaran agama Hindu bersifat dinamis dan harus menyesuaikan diri dengan konteks zaman agar tetap relevan dalam kehidupan masyarakat modern.

Esensi yang Tak Boleh Dilupakan

Walaupun praktiknya mungkin berubah, makna filosofis di balik tradisi nguncal balung tetaplah penting. Tradisi ini sejatinya mengajarkan tentang pentingnya konsentrasi dan ketepatan waktu dalam melaksanakan ritual. Masa nguncal balung berada di tengah padatnya hari raya besar, sehingga menggelar upacara besar di tengah-tengahnya dapat mengganggu fokus spiritual umat.

Dengan adanya masa tanpa upacara besar ini, umat Hindu Bali memiliki kepastian waktu untuk fokus pada ibadah dan perenungan spiritual yang lebih mendalam selama Hari Raya Galungan hingga Kuningan.

***

Baca Juga: