Tilem Sasih Kapitu dan Siwaratri, Begini Pemaknaannya

Ilustrasi Canangsari/ Kabarportal
DENPASAR, KABARPORTAL.COM – Hari ini, umat Hindu di Bali memperingati Tilem Kapitu, sebuah momen istimewa yang menandai bulan gelap pada bulan ketujuh atau Sasih Kapitu dalam kalender Bali. Perayaan ini memiliki makna spiritual yang mendalam, terutama sebagai sarana introspeksi dan pembersihan diri.
Daftar Isi
Kaitan Tilem Kapitu dan Siwaratri
Tilem Kapitu selalu dirayakan sehari setelah Siwaratri, sebuah malam yang didedikasikan untuk pemujaan Dewa Siwa. Tradisi ini mengajak umat untuk melakukan pemujaan pada malam hari, tepat saat bulan mati. Pada waktu ini, umat Hindu dianjurkan untuk bermeditasi, melakukan yoga, atau hening dalam keheningan malam. Diyakini bahwa melalui ritual ini, noda dan dosa dalam diri dapat dilebur, memberi ruang untuk kedamaian dan kesucian batin.
Menurut Putu Eka Guna Yasa, seorang dosen Sastra Bali dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, pemujaan pada malam Tilem ditujukan kepada Dewa Siwa. Dalam ajaran Jnyana Sidantha, disebutkan bahwa di dalam matahari terdapat kesucian, di dalam kesucian terdapat Siwa, dan di dalam Siwa terdapat kegelapan yang paling gelap. Itulah sebabnya, Tilem mendapatkan penghormatan istimewa dalam tradisi Hindu di Bali.
Pura Penileman, Situs Pemujaan pada Tilem
Di Bangli, Pura Penileman menjadi salah satu lokasi penting untuk merayakan Tilem. Guna Yasa menjelaskan bahwa di pura ini, masyarakat memohon pengidep pati atau sarining taksu yang diyakini sebagai manifestasi Dewa Siwa. Bukti arkeologis seperti arca Dewa Gana, putra Dewa Siwa, memperkuat kehadiran nilai-nilai spiritual di pura tersebut.
Tradisi ini juga mencerminkan penghormatan budaya Bali terhadap kegelapan, sejajar dengan penghormatan pada terang bulan purnama. Bukan hanya bulan terang yang dimuliakan, tetapi juga bulan mati sebagai simbol kegelapan yang harus diterima dan dihayati.
Menghormati Gelap dan Terang Secara Seimbang
Dalam buku Sekarura karya IBM Dharma Palguna, disebutkan bahwa guru kehidupan dan kematian mengajarkan manusia untuk menghormati gelap, sama seperti menghormati terang. Dalam konteks Tilem, kegelapan tidak harus dihindari atau dilawan dengan cahaya buatan, tetapi justru dimasuki, dihayati, dan dilebur dalam kesadaran.
Mpu Tan Akung dalam lontar Sundarigama juga menekankan pentingnya Tilem sebagai momen untuk membersihkan diri dari segala dosa dan kekotoran batin. Dalam lontar tersebut disebutkan bahwa umat Hindu wajib mempersembahkan wangi-wangian di tempat pemujaan, baik di sanggar parhyangan maupun di atas tempat tidur. Persembahan ini ditujukan kepada para widyadari dan widyadara untuk memohon anugerah dalam menjalani kehidupan.
Yoga dan Keheningan di Tengah Malam
Ritual utama saat Tilem adalah yoga atau meditasi dalam keheningan malam. Aktivitas ini bertujuan untuk membawa ketenangan pikiran dan membersihkan diri dari segala bentuk dosa. Keheningan malam menjadi simbol perjalanan menuju kesadaran sejati, di mana umat Hindu dapat menghubungkan diri dengan Dewa Siwa dan memohon pengampunan serta berkah.
Tilem Kapitu, Momentum untuk Pembersihan Diri
Perayaan Tilem Kapitu menjadi pengingat penting bahwa dalam kehidupan, terang dan gelap memiliki peran yang sama. Melalui penghormatan kepada kegelapan, umat Hindu diajak untuk merenungi, membersihkan, dan memperbaiki diri. Dengan begitu, kegelapan bukan lagi sesuatu yang menakutkan, melainkan sarana untuk mencapai kesucian dan harmoni batin. ***
0 Reviews
ikuti kami di Google News