Banten Rahinan Saraswati, Bagaimana Cara Pelaksanaannya

Ilustrasi banten saraswati/ kabarportal
DENPASAR, KABARPORTAL.COM – Inilah banten yang digunakan dalam melaksanakan rahinan Saraswati. Rahinan suci Saraswati jatuh pada Saniscara Umanis Wuku Watugung. Rahinan ini datang setiap 210 hari dan berdekatan dengan Rahina Pagerwesi. Rangkaian dari Saraswati diawali ketika datangnya kajeng Kliwon Pamelastali dan jika dihitung rangkaian ini berjalan sekitar seminggu hingga akhirnya berakhir pada Redite Paing, Wuku Sinta atau yang dikenal dengan banyu pinaruh.
Hal Menarik dari Rahina Saraswati
Ada banyak hal menarik yang bisa dilihat dari perayaan ini khususnya dari banten yang digunakan. Tentu setiap temapat menggunakan dan memiliki penyebutannya masing-masing. Salah satu yang paling dikenal banten Saraswati yang berupa cecek atau cicak dalam bahasa Indonesia. Bukan tanpa alasan, banten ini memiliki filosofi dan makna mendalam.
[irp]
Merangkum dari beragam sumber, bahwa rahinan suci Saraswati dilaksanakan sehari penuh. Lontar Sundarigama 14 menyebutkan sebagai berikut:
“Saniscara umanis Watugunung, pujawali bhatari Saraswati, Widhi widhananya; suci, peras, daksina palinggih, kembang payas, kembang cane, kembang biasa, banten sesayut Saraswati prangkatan putih kuning saha raka tan sah wangi-wangi saha dulurannya”
Dalam pelaksanaannya, minimal dalam pelaksanaan Saraswati terdiri dari canang lengkap, sodaan putih kuning dan tentunya banten Saraswati. Tirta yang digunakan berupa tirta Saraswati yang didapatkan dari memohon kepada Hyang Surya.
[irp]
Cara Melaksanakan Rahina Saraswati
Dalam pelaksanaanya, umat mengawalinya dengan menghaturkan pasucian yang dilanjutkan dengan ngayang aturan lalu ngaturang bhakti kepada Sang Hyang Aji Saraswati. Setelah itu dilanjutkan dengan muspa dan nunas tirtha dan setelahnya pelaksanaan Saraswati “nyejer” hingga keesokan harinya. Ketika malam hari, umat juga bisa melaksanakan tapa samadi memohon keselamatan dan ketajaman pikiran.
Makna dan Tradisi Hari Raya Saraswati, Perayaan Turunnya Ilmu Pengetahuan
Hari Raya Saraswati merupakan momen sakral yang dirayakan oleh umat Hindu setiap enam bulan sekali, tepatnya pada Saniscara Umanis Watugunung. Perayaan ini menjadi simbol turunnya ilmu pengetahuan suci Weda ke bumi, yang diyakini membawa berkah kebijaksanaan dan kecerdasan bagi umat manusia.
Makna dan Filosofi Hari Raya Saraswati
Dalam kepercayaan Hindu, Hari Raya Saraswati adalah waktu untuk menghormati Ida Sang Hyang Widi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewi Saraswati. Dewi ini adalah sakti dari Dewa Brahma, Sang Pencipta dalam konsep Trimurti.
[irp]
Dewi Saraswati sering digambarkan sebagai sosok wanita anggun bertangan empat yang masing-masing memegang simbol ilmu dan kebijaksanaan. Tangan kanannya menggenggam sitar (veena) sebagai lambang seni dan kreativitas, serta ganatri yang melambangkan spiritualitas. Sementara tangan kirinya memegang pustaka atau keropak, yang merepresentasikan ilmu pengetahuan, serta turut menggenggam sitar sebagai penguat harmoni dalam kehidupan.
Dalam ikonografi Hindu, Dewi Saraswati sering digambarkan berdiri atau duduk di atas bunga teratai, dengan seekor angsa di sampingnya. Angsa melambangkan kejernihan hati dan kebijaksanaan dalam memilah antara yang baik dan buruk.
Persembahan (Banten) dalam Hari Raya Saraswati
Sebagai bagian dari ritual keagamaan, umat Hindu mempersembahkan banten atau sesajen yang memiliki makna mendalam. Berdasarkan lontar Sundarigama, banten yang digunakan pada Hari Raya Saraswati cukup sederhana, namun sarat makna. Di antaranya adalah:
[irp]
- Banten Suci – lambang kesucian ilmu pengetahuan
- Peras dan Daksina – simbol rasa syukur
- Penek, Ajuman, dan Sesayut Saraswati – sebagai bentuk penghormatan
- Segara Gunung dan Perangkatan Putih Kuning – representasi keseimbangan alam
- Canang Wangi-Wangi dan Daging Itik – perlambang penghormatan terhadap Dewi Saraswati
- Daksina Palinggihan Saraswati, Kembang Pahes, Sekar Cane, dan Canang Yasa – sebagai wujud persembahan suci
Tradisi Banyupinaruh, Penyucian Diri Setelah Saraswati
Sehari setelah Hari Raya Saraswati, umat Hindu melaksanakan ritual Banyupinaruh, yang jatuh pada Redite Paing Watugunung. Upacara ini merupakan simbol penyucian diri, baik secara lahir maupun batin.
[irp]
Banyupinaruh biasanya dilakukan saat matahari terbit di sumber air seperti pantai, sungai, atau tempat pemandian suci. Prosesi ini mencerminkan pentingnya menjaga kejernihan pikiran dan kebijaksanaan dalam kehidupan.
Banten yang digunakan dalam ritual Banyupinaruh meliputi Nasi Pradnyan Kuning, daging suci, serta jamu harum. Setelah dipersembahkan, sesajen ini dapat disantap sebagai bagian dari upacara.
Mitos Larangan Membaca Saat Hari Saraswati
Salah satu mitos yang berkembang dalam perayaan Saraswati adalah larangan membaca buku. Namun, sebenarnya larangan ini bukan berarti meninggalkan ilmu, melainkan mendahulukan yadnya dan upakara (ritual dan persembahan). Setelah seluruh rangkaian upacara selesai, umat diperkenankan kembali membaca dan mendalami ilmu pengetahuan.
[irp]
Hari Raya Saraswati bukan sekadar perayaan, tetapi juga momentum untuk merefleksikan pentingnya ilmu pengetahuan dalam kehidupan. Dengan merayakan Saraswati dan Banyupinaruh, umat Hindu diharapkan semakin bijaksana dalam menjalani kehidupan, senantiasa mengutamakan ilmu, serta menjaga keseimbangan spiritual dan intelektual.
***