Pura Ulun Swi Jimbaran, Dilarang Sembahyang Saat Pertemuan Buda

Pura Uluwn Swi Jimbaran/ kabarportal
JIMBARAN, KABARPORTAL.COM - Di tengah pesona Bali yang memikat, Pura Ulun Swi di Desa Adat Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Badung, menyimpan kisah spiritual yang kental dengan tradisi dan pantangan.
Pura Kahyangan Jagat ini bukan hanya tempat suci bagi umat Hindu, tetapi juga simbol kemakmuran dan kesakralan yang dijaga ketat oleh masyarakat setempat. Salah satu aturan yang paling dihormati adalah larangan sembahyang pada hari Buda Wage dan Buda Kliwon. Mengapa aturan ini begitu sakral, dan apa konsekuensinya jika dilanggar? Yuk, simak cerita lengkapnya!
Pura Ulun Swi: Warisan Spiritual Bali Sejak Abad ke-11
Pura Ulun Swi Jimbaran, yang berdiri megah sejak sekitar abad ke-11, bukan sekadar tempat ibadah. Umat Hindu percaya pura ini adalah pusat doa untuk memohon kemakmuran, khususnya dalam hal sandang dan pangan. Menurut I Wayan Eka Santa Purwita, salah satu pengempon pura, nama “Jimbaran” tidak merujuk pada hutan luas, melainkan pada perjalanan panjang Ida Dalem Putih, pendiri pura ini. “Beliau bergelar Ida Dalem Putih Jimbaran karena perjalanan spiritualnya yang luas,” ungkapnya.
Di pura ini, tiga dewa utama disembah: Ida Hyang Paku Bumi, Ida Bhatara Tangkeb Langit, dan Ida Hyang Bhatara Sri. Ketiganya diyakini sebagai sumber kesuburan bumi dan kemurahan rezeki bagi umat yang tulus berdoa. Tak heran, Pura Ulun Swi menjadi destinasi spiritual penting di Bali, terutama bagi mereka yang mencari penglukatan atau pembersihan diri dari sifat buruk seperti sad ripu dan sapta timira.
Larangan Sembahyang di Hari Buda: Aturan Turun-Temurun
Salah satu tradisi yang membuat Pura Ulun Swi begitu unik adalah larangan sembahyang pada hari Buda Wage dan Buda Kliwon. Aturan ini bukan sekadar mitos, melainkan tertulis dalam Piagam Pura Ulun Swi yang berasal dari tahun 1360.
Bendesa Adat Jimbaran, saat itu, I Gusti Ngurah Made Rai Dirga, menjelaskan bahwa larangan ini terkait dengan keyakinan bahwa dewa-dewa yang bersemayam di pura sedang menjalani yoga semadi atau rapat niskala pada hari-hari tersebut. “Gangguan sekecil apa pun bisa berakibat fatal,” tegasnya.
Kisah-kisah misterius pun mengiringi aturan ini. Salah satu cerita yang sering dibagikan adalah insiden latihan baleganjur pada Selasa malam. Saat latihan melewati tengah malam, alat musik seperti ceng-ceng tiba-tiba menghilang dan ditemukan di bawah pohon beringin. “Itu pengalaman nyata yang diceritakan langsung oleh yang mengalami,” kata Gusti Ngurah. Bahkan, ada pula kisah tragis tentang seseorang yang nekat sembahyang pada hari terlarang dan akhirnya meninggal dunia.
ikuti kami di Google News



